PENDAHULUAN
Di antara masalah yang menjadi bahan
perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan
atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan.
Dalam kaitannya dengan keperluan kajian akhlak,
tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan yang akan
dilakukannya sendiri. Sementara golongan yang menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kebebesan juga akan di bahas di sini dengan menentukannya secara
proporsianal.
Kebebasan
sebagaimana dikemukukun oleh Achmad Charis Zubair adalah terjadinya apabila
kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu paksaan dari
atau keterikatan kepada orang lain.
Paham di sebut bebas negative, karena hanya dinyatakan
bebas dari apa, tetapi tidak di tentukan bebas untuk apa.
Oleh
karena itulah dalam makalah ini pemakalah berusaha mengkaji kembali perihal kebebasan
dan tanggung jawab manusia perspektif tafsir.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebebasan
Di antara masalah yang
menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah
kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan
kehendak dan kemauan. Yakni adalah kehendak
kita merdeka dalam memilih perbuatan yang kita buat? Adakah orang itu dapat memilih di antara berbuat
atau tidak, dan dapatkah ia membentuk perbuatannya menurut kemauannya?
Adakah kita merdeka dalam mengikuti apa yang diperintahkan etika, atau kita
dapat mengikuti dan dapat menolak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di kalangan
para ahli teologi terbagi kepada dua kelompok. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa manusia merniliki kehendak bebas
dan merdeka untuk melakukan
perbuatannya menurut kemauannya sendiri. la makan,minum,belajar,berjalan dan seterusnya adalah atas kemauan
sendiri. Kedua kelompok yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki
kebebasan untuk melaksanakan perbuatannya. Mereka
dibatasi dan ditentukan oleh Tuhan. Jika manusia makan, minum, berjalan, bekerja dan seterusnya, pada
hakikatnya mengikuti kehendak Tuhan.
Dalam pandangan golongan yang kedua ini manusia tak ubahnya seperti
wayang yang mengikuti sepenuhnya kemauan dalang[1]
Di zaman baru ini perdebatan masalah kebebasan
dan keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs dan Malebrache berpendapat bahwa
manusia melakukan sesuatu karena terpaksa. Sementara sebagian ahli
filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menetapkan
perbuatannya.[2]
Manakah di antara dua pendapat yang paling benar bukan hak kita untuk
menilainya, karena masing-masing memiliki argumentasi yang sama-sama kuat dan
meyakinkan. Kecenderungan masing-masing pembacalah yang mana di antara dua aliran itu yang lebih diterima akal pikirannya.
Dalam kaitan dengan keperluan kajian akhlak,
tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa
manusia memiliki kebebasan melakukan
perbuatannyalah yang akan diikuti di sini. Sementara golongan yang
mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan juga akan diikuti di sini
dengan menempatkannya secara proporsional.
Yakni dalam hal bagaimanakah manusia itu bebas, dan dalam hal bagaimana pula manusia itu terbatas. Dengan cara demikian kita mencoba berbuat adil terhadap
kedua kelompok yang berbeda pendapat itu.
Kebebasan sebagaimana
dikemukakan Ahmad Charris Zubair adalah terjadi apabila
kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau
keterikatan kepada orang lain. Paham ini
disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila: (1) Dapat menentukan
sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya, (2) Dapat memilih antara
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya, dan (3) Tidak dipaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang
tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang
dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apa pun.[3]
Selain itu kebebasan itu meliputi segala macam
kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut
tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan
atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya
keterbatasan dalam menentukan jenis
kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan
sebagainya. Namun keterbatasan yang
demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatas keterbatasan
tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.
Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat
dibagi tiga. Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita
miliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauan yang dapat di lakukan
oleh anggota badan kita, hal itu
tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan
sifat dari kebebasan itu. Manusia misalnya berjenis kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang,
semua itu tidak disebut melanggar
kebebasan jasmaniah kita, karena kemampuan terbang berada di luar
kapasitas kodrati yang dimiliki manusia. Yang
dapat dikatakan melanggar kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau
lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir, karena manusia dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. Kebebasan
kehendak berbeda dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara, langsung dibatasi dari luar. Orang
tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.
Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macarn-macam ancaman, tekanan, larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Kebebasan pada tahap
selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk
bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau
dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas
berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
Selanjutnya manusia dalam
bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga
mengambilsikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia
tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan dorongan-dorongannya
di dalam, melainkan ia membuat dirinya sendiri berhadapan
dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian kebebasan ternyata
merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai
satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan,
melainkan yang dapat menentukan dunianya dan dirinya
sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal
yang tidak wajar .
Paham adanya kebebasan
pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang
diberikan al-Qur'an. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%Ï#uß 4 bÎ)ur (#qèVÉótGó¡o (#qèO$tóã &ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 [ø©Î/ Ü>#u¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
Artinya:
“Dan
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir”(QS. Al-Kahfi: 29)
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇÍÉÈ
Artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha
melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fushilat, 40)
!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pkön=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÏÎÈ
Artinya:
“Dan
Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah:
"Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran: 165)
Ayat-ayat tersebut dengan jelas memberi peluang
kepada manusia untuk secara bebas menentukan
tindakannya berdasarkan kemauannya sendiri.
B. Tanggung Jawab
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan di
atas itu di tantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak
mungkin ada tanggung jawab tanda ada kebebasan. Di sinilah letak hubungan kebebasan
dan tanggung jawab.
Dalam kerangka tanggung
jawab ini, kebebasan mengandung arti: (1) Kemampuan untuk menentukan
dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggung
jawab, (3) Kedewasaan manusia, dan (4) Keseluruhan kondisi yang
memungkinkan manusia melakukan tujuan
hidupnya. Tingkah laku yang didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku berdasarkan kesadaran, bukan instintif, melainkan terdapat
makna kebebasan manusia yang merupakan obyek materia etika.
Sejalan dengan adanya kebebasan atau
kesengajaan, orang harus bertanggung jawab terhadap tindakannya yang disengaja itu. Ini berarti bahwa ia harus dapat mengatakan
dengan jujur kepada kata hatinya, bahwa tindakannya itu sesuai dengan
penerangan dan tuntutan kata hati
itu. Jadi bahwa dia berbuat baik dan tidak berbuat jahat,
setidak-tidaknya menurut keyakinannya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka
akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan
bahwa orang yang melakukan kekacauan
sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah
bahwa perbuatan yang dilakukan orang
tersebut secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung
jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan
tapi dalam keadaan tidur atau mabuk
dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan, karena perbuatan
tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu
tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati
nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan
kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertanggungjawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan
pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.
Manusia dapat memilih dua jalan (baik atau buruk),
tetapi ia sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Manusia tidak
membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan
ke atas pundaknya. Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An'am ayat 164 dinyatakan
bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syaratsyarat
tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran
ö@è% uöxîr& «!$# ÓÈöö/r& $|/u uqèdur >u Èe@ä. &äóÓx« 4 wur Ü=Å¡õ3s? @à2 C§øÿtR wÎ) $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4 §NèO 4n<Î) /ä3În/u ö/ä3ãèÅ_ó£D /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ öNçFZä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tGørB ÇÊÏÍÈ
Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari
Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[526]. kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan." (Q.S Al-An’am:164)
Dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa
sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS Al-Isra' [17]: 15).
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒt $pkön=tæ 4 wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan
hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
(Q.S Al-Isro’: 15)
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. (QS Al-Baqarah [2]: 286)
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$#
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya (Q.S Al-Baqarah 286)
Dari gabungan ayat ini, kita dapat memetik dua kaidah
yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1. Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang
tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2. Manusia tidak dituntut mempertanggungiawabkan apa yang dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.
Di sisi lain, ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban
tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan
gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak. Al-Quran secara tegas menyatakan:
Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas
sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia akan meminta
pertanggungjawabanmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu. (QS Al-Baqarah
[2]: 225).
Tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak
menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
(QS Al-Baqarah [2]: 173).
Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, makapertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya.
Dapat juga disimpulkan, bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, makapertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya.
Atas dasar ini pula, maka "niat
dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal
sekaligus dalam pertanggungjawabannya".
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman,
dia mendapatkan kemurkaan Allah, kecuali orang-orang yang dipaksa kafir sedang
hatinya tetap tenang dalam keimanan. (QS
An-Nahl [16]: 106)
. Al-Quran
surat Al-Isra ayat 23-24 memerintahkan kepada seorang anak agar menghormati
kedua orang-tuanya, khususnya kalau usia mereka sudah tua (karena ketika telah
uzur boleh jadi mereka melakukan hal-hal yang menjengkelkan). Anak dilarang
berkata uh, dan harus memilih kata-kata yang baik, sambil merendahkan diri
kepada keduanya. Ayat ini disusul dengan firman-Nya:
Tuhanmu lebih mengetahui yang ada dalam hatimu. Jika
seandainya kamu orang baik-baik (Allah akan memaaafkan sikap dan kelakuan yang
telah kamu lakukan dengan terpaksa, tidak sadar, atau yang berada di luar
kontrol kemampuanmu), karena Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang
bertobat (QS Al-Isra' [17]: 25).
C. Hati Nurani
Berbicara tentang kebebasan dan tanggung jawab
manusia tentunya akan terasa kurang apabila tidak membahas tentang hati nurani,
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati
nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka
kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul
aliran atau paham intuisisme, yaitu
paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang
sesuai dengan kata hati, sedangkan perbuatan yang
buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani, sebagaimana hal ini telah
diuraikan panjang lebar di atas.
Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati
nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan
yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan
yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Dari pemahaman kebebasan
yang demikian itu, maka timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang
diperbuat itu secara hati nurani dan moral
harus dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan,
tanggung jawab dan hati nurani.
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab Dan Hati
Nurani Dengan Akhlak
Pada uraian terdahulu telah disinggung bahwa suatu perbuatan baru dapat
dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai
berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri,
bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan
tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya
demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau
kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang
berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di
sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus
dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti
inilah yang dapat dimintakan pertanggungjawabnya dari orang yang melakukannya.
Di sinilah letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak.
Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus
muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian
penting.
Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung
jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki. Di sinilah letak hubungan fungsional antara kebebasan, tanggung jawab
dan hati nurani dengan akhlak. Karenanya dalam membahas akhlak seseorang tidak dapat meninggalkan pembahasan mengenai kebebasan,
tanggung jawab dan hati nurani.
PENUTUP
Manusia dikatakan bebas apabila ia terikat pada
norma-norma. Apabila ia tidak mengakui hal itu maka ia tetap tidak bebas,
karena dikuasai kecendrungan dan senantiasa dipengaruhi dan terikat pada hokum
yang lebih tinggi dan tidak sempurna.
Sikap moral yang dewasa adalah sikap yang
bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.
Disinilah letak hubungan tanggung jawab dan kebebasan. Tingkah laku yang
didasarkan pada sikap, sistem nilai dan pola pikir berarti tingkah laku
berdasarkan kesadaran, bukan instingtif.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka
akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Dari patokan ini maka
menjadi jelaslah misalnya, orang yang membuat anarki disebut orang yang tidak
bertanggung jawab.
Hati nurani harus menjadi salah satu pertimbangan
dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang
tidak membelenggu hati nuraninya karena hakikatnya hal itu ialah merugikan
secara moral.
Perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang
dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan
kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan.
Perbuatan seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak
hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir, Perbuatan akhlak juga harus
muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan dapat dipertaggung awabkan
kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak dan hati nurani.
DAFTAR PUSTAKA
·
Nasution, Harun, Teologi (Ilmu Kalam), Jakarta,
UI Press, 1972.
·
Amin, Ahmad, Ilmu Akhlak, Jakarta, Bulan
Bintang, 1975.