A.
Pendahuluan
Sejak dini para
ulama telah melakukan apa itu study kritik hadits, yakni menyeleksi otentisitas
berita yang bersumber dari nabi SAW. Namun masalah baru timbul ketika
terjadinya kekacauan dalam dunia islam yakni diawali dengan terbunuhnya
khalifah Utsman RA pada tahun 63 H, disusul dengan munculnya kelompok politik
islam dan mulai diberlakukannya kritik rowi.
Fenomena
seperti ini memicu sejumlah ilmuan untuk mempertanyakan keberadaan hadits
terutama ilmuan Barat. Pada tahun 1890 M dunia penelitian hadits dikejutkan
dengan munculnya metode baru dalam kritik hadits yang ditandai dengan terbitnya
buku “Muhammadanische Studien” yang ditulis seorang orientalis bernama Ignaz
Goldzier yang saat itu hingga sekarang menjadi sumber rujukan utama dalam
penelitian hadits di Barat.
Diantara
pengikutnya ialah Joseph Schachet yang berhasil merumuskan beberapa teori yang
kontrovertsial dan salah satu teori tersebut adalah teori backward projection.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas beberapa pokok tentang kritik
sarjana Barat terhadap isnad.
B.
Pendapat Schachet tentang Isnad Hadits
Menurut Fadzlur
Rahman isnad baru digunakan semenjak lahirnya kumpulan hadits sistematis yang
disusun oleh Imam Malik, yaitu muwattho’. Orang muslim dan sebagian sarjana
barat berpendapat bahwa isnad hadits telah ada sejak masa awal islam hanya saja
masih bersifat sederhana. Namun demikian sarjana Barat antara lain seperti
Caetani yang mengatakan bahwa pemakaian isnad baru ada sejak masa antara Urwah
(w 194 H) dan Ishaq (w 151 H). Dengan itu Caetani berkesimpulan bahwa sebagian
besar dari isnad yang terdapat kitab-kitab hadits adalah bikinan ulama hadits
abad kedua. Bahkan ketiga hijriyah. Dan masih banyak lagi sarjana Barat yang
memiliki pendapat yang berbeda dengan
pendapat ulama muslim.
Schacht
berpendapat bahwa isnad baru dimulai
semenjak terbunuhnya Walid bin Yazid pada akhir pemerintahan dinasti Umaiyyah,
yakni sekitar tahun 126 H. Isnad menurutnya lahir seiring dengan penunjukan
seorang spesial (qodhi) yang memiliki otoritas menetapkan keputusan hukum. Kedudukan
isnad sebagai alat ukur keshahihan hadits terjadi sekitar masa karir as-syafi’i
hal ini didasarkan pada pendapat as-Syafi’i bahwa hadits hanya dapat dianggap
autentik apabila memiliki isnad yang tidak terputus sampai kepada Nabi SAW. Sejak
sejak saat itu isnad menjadi satu-satunya jembatan antara yang kita miliki saat
ini dengan yang ada pada masa lalu.
Schacht
berpendapat bahwa “ the isnad show the tendency to grow backward and to
claim higher and higher authority untill they arrive at the prorhet”.[1]
Yang artinya: “ isnad cenderung diproyeksikan ke belakang kepada otoritas yang
lebih tinggi hingga sampai kepada Nabi”. Dengan kesimpulan seperti ini Schacht
menganggap bahwa isnad tidak lain merupakan sesuatu yang dibuat-buat oleh
kalangan sesudah nabidemi menciptakan otoritas yang lebih tinggi.
Selain
itu Schacht membuat kesimpulan yang cukup menyakitkan bagi umat Islam yang
antusias terhadap hadits. Ia mengatakan bahwa isnad hadits merupakan bagian
dari sewenang-wenang (abitrary) Dalam hadits Nabi SAW. Maksudnya ialah isnad
lahir setelah adanya matan hadits. Dalam pandangan Schacht isnad merupakan
kreasi ulama yang tidak ada hubungannya dengan fakta sesungguhnya. Karena isnad
merupakan kreasi para ulama maka Schacht menganggap bahwa matan hadits tidak
lebih sebagai perkataan para tabi’inatau ulama yang memiliki otoritas tinggi di
antara mereka yang terjadi sekitar abad kedua hijriyyah.
Demi
memberikan otoritas yang paling tinggi isnad dipergunakan secara sembarangan.
Ulama tersebut meletakkan orang-orang yang mereka anggap memiliki otoritas
diantara mereka secara acak pada isnad hadits. Dengan melakukan perbuatan
seperti ini, perkataan mereka yang tadinya tidak memiliki otoritas berubah
menjadi sesuatu yang disakralkandan patut untuk diamalkan. Untuk lebih jelas,
berikut pernyataan schact.
”
the isnads the most arbitrary part of the tradition, the isnad started from
rudimentary begining and reached perfection in the classical collection in
tradition in the second half of the third century A. H. The isnads were opten
put together very carelessly and tivical representative of the group whose
doctrine was to be projected back to an ancient authority , could be chosen at
random and put into the isnad. Artinya: “ isnad merupakan tindakan
kesewenang wenangan dalam hadits ...
isnad dibentuk dari bentuk yang tidak sempurna dan memperoleh
kesempurnaan-kesempurnaan pada koleksi-koleksi klasik hadits pada abad
pertengahan kedua dan ketiga hijriyah ... kebanyakan isnad-isnad itu kurang
mendapat perhatian yang cukup apabila da suatu kelompok yang mengaitkan pendapatnya
dengan orang-orang terdahulu maka kelompok tersebut akan memilih tokoh tersebut
secara acak dan meletakkannya dalam isnad.
C.
Teori Backward Projection
Konsep tentang
teori backward bukan benar-benar baru sebelum Schacht ada beberapa ulama
pendahulunya yang sama-sama bersifat skeptis terhadap hadits diantaranya ialah
Goldzier, D.S Morgoliouth, dan H. Lamens.ketiga ilmuan inilah yanmg banyak
mempengaruhi fikiran schacht namun ketiga tokoh ini tidak tidak merumuskan
secara sistematis pernyataan-pernyataan mereka hingga menjadi sebuah teori.
Goldzier adalah
ilmuan barat pertama yang mempertanyakan tentang keontetisitasan hadits.
Menurutnya tidak mungkin menemukan hadits yang benar-benar otentik dari nabi
atau generasi sahabat. Hadits sebaiknya dikatakan catatan pandangan-pandangan
dan sikap generasi muslim awal. Akan tetapi Goldzier mempertahankan pendapatnya
bahwa fenomena hadits berasal dari masa islam yang paling awal dan bahkan ia
mendukung kemungkinan adanya catatan hadits ‘informal’ pada masa nabi[2].
Tokoh kedua
yang mempengaruhi pemikiran Schacht adalah D.S Margoliouth ia berpendapat
bahwa:
1.
Nabi
tidak meninggalkan pedoman-pedoman ataupun keputusan-keputusan keagaman yakni
beliau tidak meninggalkan sunnah ataupun hadits selain al-Qur’an saja.
2.
Bahwa
sunnah yan g dipraktekan oleh orang-orang muslim awal sepeninggal Muhammad sama
sekali bukanlah sunah nabi. Melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum islam yang
telah mengalami modifikasi dalam al-qur’an.
3.
Bahwa
generasi-generasi yang kemudian pada abad ke-2 H/ 8 M dalam memberi otoritas dan
normatif bagi kebiasaan tersebut lalu mengembangkan konsep sunnah nabi dan
menciptakan sendiri mekanisme hadits untuk merealisir konsep tersebut.
Begitu juga
Lammens dalam bukunya Islam, Believe and constitution memiliki pandangan
yang sama dengan kedua tokoh di atas.
Kesimpulan-kesimpulan
tiga tokoh tersebut adalah awal keraguan Schacht terhadap otentisitas hadits
yang pada perkembangan berikutnya melahirkan teori bacward projection. Akan
tetapi dibandingkan tingkat keraguan tiga tokoh tersebut Schacht memiliki
tingkat keraguan yang lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari asumsi-asumsi
yang ia keluarkan sebelum merumuskan teori ini, misalnya ketika ia menyatakkan
bahwa tidak ada hadits nabi yang dapat dinilai otentik.
Menurut Schacht
backward projection merupakan suatu upaya baik dari aliran fikih klasik ataupun
para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka terhadap otoritas yang
lebih kuat di masa lampau hingga sampai kepada nabi. Hal ini disebabkan pada
mulanya sunnah, yang pada perkembangan berikutnya diidentikkan dengan hadits
memiliki sebuah konotasi politik ketimbang konotasi hukum. Hal ini disebabkan
karena ketidak puasan pada masa khalifaah utsman yang mengantarkan pada
pembunuhannya karena dituduh telah menyimpang dari kebijakan khalifah
sebelumnya.
Argumen schacht
mengenai hadits terdiri dari dua bagian. Pertama, berdasarkan
bukti-bukti yang ditemukan pada karya-karya Imam Syafi’i (150-204 H) ia
kemudian berkesimpulan bahwa hadits yang diklaim dari Nabi tidak diketahui
hingga sampai pertengahan abad ke-2. Kemudian ia berpendapat bahwa sunnah yang
dipandang saat itu bukanlah sunnah nabi tetapi lebih sebagai sunnah masyarakat
yang merupakan hasil penalaran bebas ulama-ulama fiqih. Dan semenjalk imam
syafi’i konsep sunnah ditetapkan secara sistematis sebagai hadits nabi, atau
dalam artian sunnah dan hadits memiliki arti yang sama. Oleh karena itu Schacht
menafikan adanya hadits nabi. Yang ada adalah perkataan ulama fiqih yang
dinisbatkan kepada Nabi. Berikut pernyataannya: “ syafi’i insist time after
time that nothing can override the authority of the prophet , even if it be
attested only by an isolated tradition , and that every well-authentichated
tradition going back to the prophet has precedence over the opinion of his
companions, their successors and letter authorities.[3]
Tentu saja
pendapat syafi’i ini bertolak belakang dengan teori backward projection Joseph
Schacht, yang cenderung menganggap bahwa perkataan yang disandarkan kepada
orang-orang setelah nabi lebih awal dari perkataan nabi itu sendiri. Dan hal
inilah yang membuat Schacht banyak melakukan penelitian terhadap karya-karya
imam Syafi’i
Argumen kedua Schacht ialah dengan
membandingkan beberapa versi hadits yang awal dan yang datang kemudian,
misalnya membandingkan hadits yang terdapat dalam muwatho’ dan hadits yang
terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ia menemukan hadits dalam kitab shahih
bukhari namun tidak ditemukan dalam kitab muwatho’ ataupun ketika dalam kitab
muwatho’ ditemukan hadits dengan yang diriwayatkan dengan sanad terputus, namun
dalam shahih bukhari hadits tersebut memiliki isnad yang muttashil. Padahal menurutnya kitab muwatho’
lebih tua dari kitab shahih bukhari, fenomena inilah yang membuat Schacht
menyimpulkan bahwa isnad cenderung mengalami penyempurnaan dan selalu
diproyeksikan ke belakang.dan inilah yang disebut dengan teori backward.
D.
Kesimpulan
Para ilmuan
barat masih meragukan otentisitas hadits, disebabkan hadits barulah dikumpulkan
setelah meninggalnya Muhammad SAW, dan menurut mereka rantai sanad yang berada
pada hadits hanyalah suatu upaya para pemegang otoritas untuk bisa menyuruh
rakyatnya dengan dalil bahwa perintah tersebut berasal dari Nabi.
DAFTAR PUSTAKA
ü Schacht, Joseph. The Origins Of Muhammadan Jurisprudence.
London: Oxford University Press, 1950
ü Masrur, Ali. Teori Common Link G. H. A. Juyn Boll.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003
ü Al-Ghazali, Syekh Muhammad. Study kritis atas hadits Nabi antara
pemahaman tekstual dan kontekstual. Terj Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan,
1991
ü As-Shiddieqie, Prof. T. M. Hasbi. Sedjarah Perkembangan Hadits
dan tokoh-tokoh utama dalam bidang Hadits. Jakarta: Bulab Bintang, 1973
ü Dimyati, Drs H. Ayat. Pengantar Study Sanad. Bandung:
Fakultas Syari’ah IAIN sunan Gunung Djati, 1997
[1] Joseph Schacht, origins, hal. 5
[2] Fazlur Rahman, Islam, terj.Ahsin
Mohammad, Pustaka, Bandung, 1994, hal.52
[3] Artinya:
“ syafi’i menyatakan berulang kali bahwa tidak ada yang dapat menolak otoritas
nabi bahkan jika hal tersebut hanya dibuktikan dengan hadits yang tersendiri
dan setiap hadits yang disandarkan kepada nabi telah ada mendahului
pendapat-pendapat para sahabat , tabi’in, dan otoritas ke belakang”.