RSS

Pandangan Joseph Schacht tentang hadits


A.    Pendahuluan
Sejak dini para ulama telah melakukan apa itu study kritik hadits, yakni menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari nabi SAW. Namun masalah baru timbul ketika terjadinya kekacauan dalam dunia islam yakni diawali dengan terbunuhnya khalifah Utsman RA pada tahun 63 H, disusul dengan munculnya kelompok politik islam dan mulai diberlakukannya kritik rowi.
Fenomena seperti ini memicu sejumlah ilmuan untuk mempertanyakan keberadaan hadits terutama ilmuan Barat. Pada tahun 1890 M dunia penelitian hadits dikejutkan dengan munculnya metode baru dalam kritik hadits yang ditandai dengan terbitnya buku “Muhammadanische Studien” yang ditulis seorang orientalis bernama Ignaz Goldzier yang saat itu hingga sekarang menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadits di Barat.
Diantara pengikutnya ialah Joseph Schachet yang berhasil merumuskan beberapa teori yang kontrovertsial dan salah satu teori tersebut adalah teori backward projection. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas beberapa pokok tentang kritik sarjana Barat terhadap isnad.
B.     Pendapat Schachet tentang Isnad Hadits
Menurut Fadzlur Rahman isnad baru digunakan semenjak lahirnya kumpulan hadits sistematis yang disusun oleh Imam Malik, yaitu muwattho’. Orang muslim dan sebagian sarjana barat berpendapat bahwa isnad hadits telah ada sejak masa awal islam hanya saja masih bersifat sederhana. Namun demikian sarjana Barat antara lain seperti Caetani yang mengatakan bahwa pemakaian isnad baru ada sejak masa antara Urwah (w 194 H) dan Ishaq (w 151 H). Dengan itu Caetani berkesimpulan bahwa sebagian besar dari isnad yang terdapat kitab-kitab hadits adalah bikinan ulama hadits abad kedua. Bahkan ketiga hijriyah. Dan masih banyak lagi sarjana Barat yang memiliki pendapat yang berbeda  dengan pendapat ulama muslim.
            Schacht berpendapat bahwa isnad baru  dimulai semenjak terbunuhnya Walid bin Yazid pada akhir pemerintahan dinasti Umaiyyah, yakni sekitar tahun 126 H. Isnad menurutnya lahir seiring dengan penunjukan seorang spesial (qodhi) yang memiliki otoritas menetapkan keputusan hukum. Kedudukan isnad sebagai alat ukur keshahihan hadits terjadi sekitar masa karir as-syafi’i hal ini didasarkan pada pendapat as-Syafi’i bahwa hadits hanya dapat dianggap autentik apabila memiliki isnad yang tidak terputus sampai kepada Nabi SAW. Sejak sejak saat itu isnad menjadi satu-satunya jembatan antara yang kita miliki saat ini dengan yang ada pada masa lalu.
            Schacht berpendapat bahwa “ the isnad show the tendency to grow backward and to claim higher and higher authority untill they arrive at the prorhet”.[1] Yang artinya: “ isnad cenderung diproyeksikan ke belakang kepada otoritas yang lebih tinggi hingga sampai kepada Nabi”. Dengan kesimpulan seperti ini Schacht menganggap bahwa isnad tidak lain merupakan sesuatu yang dibuat-buat oleh kalangan sesudah nabidemi menciptakan otoritas yang lebih tinggi.
            Selain itu Schacht membuat kesimpulan yang cukup menyakitkan bagi umat Islam yang antusias terhadap hadits. Ia mengatakan bahwa isnad hadits merupakan bagian dari sewenang-wenang (abitrary) Dalam hadits Nabi SAW. Maksudnya ialah isnad lahir setelah adanya matan hadits. Dalam pandangan Schacht isnad merupakan kreasi ulama yang tidak ada hubungannya dengan fakta sesungguhnya. Karena isnad merupakan kreasi para ulama maka Schacht menganggap bahwa matan hadits tidak lebih sebagai perkataan para tabi’inatau ulama yang memiliki otoritas tinggi di antara mereka yang terjadi sekitar abad kedua hijriyyah.
            Demi memberikan otoritas yang paling tinggi isnad dipergunakan secara sembarangan. Ulama tersebut meletakkan orang-orang yang mereka anggap memiliki otoritas diantara mereka secara acak pada isnad hadits. Dengan melakukan perbuatan seperti ini, perkataan mereka yang tadinya tidak memiliki otoritas berubah menjadi sesuatu yang disakralkandan patut untuk diamalkan. Untuk lebih jelas, berikut pernyataan schact.
            ” the isnads the most arbitrary part of the tradition, the isnad started from rudimentary begining and reached perfection in the classical collection in tradition in the second half of the third century A. H. The isnads were opten put together very carelessly and tivical representative of the group whose doctrine was to be projected back to an ancient authority , could be chosen at random and put into the isnad. Artinya: “ isnad merupakan tindakan kesewenang wenangan dalam hadits  ... isnad dibentuk dari bentuk yang tidak sempurna dan memperoleh kesempurnaan-kesempurnaan pada koleksi-koleksi klasik hadits pada abad pertengahan kedua dan ketiga hijriyah ... kebanyakan isnad-isnad itu kurang mendapat perhatian yang cukup apabila da suatu kelompok yang mengaitkan pendapatnya dengan orang-orang terdahulu maka kelompok tersebut akan memilih tokoh tersebut secara acak dan meletakkannya dalam isnad.
C.    Teori Backward Projection
Konsep tentang teori backward bukan benar-benar baru sebelum Schacht ada beberapa ulama pendahulunya yang sama-sama bersifat skeptis terhadap hadits diantaranya ialah Goldzier, D.S Morgoliouth, dan H. Lamens.ketiga ilmuan inilah yanmg banyak mempengaruhi fikiran schacht namun ketiga tokoh ini tidak tidak merumuskan secara sistematis pernyataan-pernyataan mereka hingga menjadi sebuah teori.
Goldzier adalah ilmuan barat pertama yang mempertanyakan tentang keontetisitasan hadits. Menurutnya tidak mungkin menemukan hadits yang benar-benar otentik dari nabi atau generasi sahabat. Hadits sebaiknya dikatakan catatan pandangan-pandangan dan sikap generasi muslim awal. Akan tetapi Goldzier mempertahankan pendapatnya bahwa fenomena hadits berasal dari masa islam yang paling awal dan bahkan ia mendukung kemungkinan adanya catatan hadits ‘informal’ pada masa nabi[2].
Tokoh kedua yang mempengaruhi pemikiran Schacht adalah D.S Margoliouth ia berpendapat bahwa:
1.      Nabi tidak meninggalkan pedoman-pedoman ataupun keputusan-keputusan keagaman yakni beliau tidak meninggalkan sunnah ataupun hadits selain al-Qur’an saja.
2.      Bahwa sunnah yan g dipraktekan oleh orang-orang muslim awal sepeninggal Muhammad sama sekali bukanlah sunah nabi. Melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum islam yang telah mengalami modifikasi dalam al-qur’an.
3.      Bahwa generasi-generasi yang kemudian pada abad ke-2 H/ 8 M dalam memberi otoritas dan normatif bagi kebiasaan tersebut lalu mengembangkan konsep sunnah nabi dan menciptakan sendiri mekanisme hadits untuk merealisir konsep tersebut.
Begitu juga Lammens dalam bukunya Islam, Believe and constitution memiliki pandangan yang sama dengan kedua tokoh di atas.
Kesimpulan-kesimpulan tiga tokoh tersebut adalah awal keraguan Schacht terhadap otentisitas hadits yang pada perkembangan berikutnya melahirkan teori bacward projection. Akan tetapi dibandingkan tingkat keraguan tiga tokoh tersebut Schacht memiliki tingkat keraguan yang lebih tinggi, hal ini dapat dilihat dari asumsi-asumsi yang ia keluarkan sebelum merumuskan teori ini, misalnya ketika ia menyatakkan bahwa tidak ada hadits nabi yang dapat dinilai otentik.
Menurut Schacht backward projection merupakan suatu upaya baik dari aliran fikih klasik ataupun para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka terhadap otoritas yang lebih kuat di masa lampau hingga sampai kepada nabi. Hal ini disebabkan pada mulanya sunnah, yang pada perkembangan berikutnya diidentikkan dengan hadits memiliki sebuah konotasi politik ketimbang konotasi hukum. Hal ini disebabkan karena ketidak puasan pada masa khalifaah utsman yang mengantarkan pada pembunuhannya karena dituduh telah menyimpang dari kebijakan khalifah sebelumnya.
Argumen schacht mengenai hadits terdiri dari dua bagian. Pertama, berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada karya-karya Imam Syafi’i (150-204 H) ia kemudian berkesimpulan bahwa hadits yang diklaim dari Nabi tidak diketahui hingga sampai pertengahan abad ke-2. Kemudian ia berpendapat bahwa sunnah yang dipandang saat itu bukanlah sunnah nabi tetapi lebih sebagai sunnah masyarakat yang merupakan hasil penalaran bebas ulama-ulama fiqih. Dan semenjalk imam syafi’i konsep sunnah ditetapkan secara sistematis sebagai hadits nabi, atau dalam artian sunnah dan hadits memiliki arti yang sama. Oleh karena itu Schacht menafikan adanya hadits nabi. Yang ada adalah perkataan ulama fiqih yang dinisbatkan kepada Nabi. Berikut pernyataannya: “ syafi’i insist time after time that nothing can override the authority of the prophet , even if it be attested only by an isolated tradition , and that every well-authentichated tradition going back to the prophet has precedence over the opinion of his companions, their successors and letter authorities.[3]
Tentu saja pendapat syafi’i ini bertolak belakang dengan teori backward projection Joseph Schacht, yang cenderung menganggap bahwa perkataan yang disandarkan kepada orang-orang setelah nabi lebih awal dari perkataan nabi itu sendiri. Dan hal inilah yang membuat Schacht banyak melakukan penelitian terhadap karya-karya imam Syafi’i
  Argumen kedua Schacht ialah dengan membandingkan beberapa versi hadits yang awal dan yang datang kemudian, misalnya membandingkan hadits yang terdapat dalam muwatho’ dan hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ia menemukan hadits dalam kitab shahih bukhari namun tidak ditemukan dalam kitab muwatho’ ataupun ketika dalam kitab muwatho’ ditemukan hadits dengan yang diriwayatkan dengan sanad terputus, namun dalam shahih bukhari hadits tersebut memiliki isnad yang  muttashil. Padahal menurutnya kitab muwatho’ lebih tua dari kitab shahih bukhari, fenomena inilah yang membuat Schacht menyimpulkan bahwa isnad cenderung mengalami penyempurnaan dan selalu diproyeksikan ke belakang.dan inilah yang disebut dengan teori backward.
D.    Kesimpulan
Para ilmuan barat masih meragukan otentisitas hadits, disebabkan hadits barulah dikumpulkan setelah meninggalnya Muhammad SAW, dan menurut mereka rantai sanad yang berada pada hadits hanyalah suatu upaya para pemegang otoritas untuk bisa menyuruh rakyatnya dengan dalil bahwa perintah tersebut berasal dari Nabi.











DAFTAR PUSTAKA

ü  Schacht, Joseph. The Origins Of Muhammadan Jurisprudence. London: Oxford University Press, 1950
ü  Masrur, Ali. Teori Common Link G. H. A. Juyn Boll. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003
ü  Al-Ghazali, Syekh Muhammad. Study kritis atas hadits Nabi antara pemahaman tekstual dan kontekstual. Terj Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1991
ü  As-Shiddieqie, Prof. T. M. Hasbi. Sedjarah Perkembangan Hadits dan tokoh-tokoh utama dalam bidang Hadits. Jakarta: Bulab Bintang, 1973
ü  Dimyati, Drs H. Ayat. Pengantar Study Sanad. Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN sunan Gunung Djati, 1997






[1]  Joseph Schacht, origins, hal. 5
[2]  Fazlur Rahman, Islam, terj.Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 1994, hal.52
[3] Artinya: “ syafi’i menyatakan berulang kali bahwa tidak ada yang dapat menolak otoritas nabi bahkan jika hal tersebut hanya dibuktikan dengan hadits yang tersendiri dan setiap hadits yang disandarkan kepada nabi telah ada mendahului pendapat-pendapat para sahabat , tabi’in, dan otoritas ke belakang”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HADIST BERDASARKAN BENTUK DAN PENISBATAN SANAD

          I.            Berdasarkan bentuk
Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi dalam lima macam yaitu:
·         Hadits Qauli: yakni yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan.
·         Hadits Fi’li: yakni hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syari’at.
·         Hadits Taqrir: yakni yang matannya berupa taqrir yakni kesan atau peristiwa, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh seorang sahabat.
·         Hadits Kauni: yakni hadits yang matannya berupa keadaan atau hal ihwal dan sifat tertentu.
·         Hadits Hammi: yakni hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan yang sebetulnya berupa qaul atau ucapan.[1]

       II.            Berdasarkan penisbatan matan
Dan dari segi penisbatan matannya maka hadits dapat dibagi menjadi empat macam yaitu:
A.    Hadits Qudsi
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci. Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala. Nisbat ini mengesankan rasa hormat, karena materi itu sendiri menunjukan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis, artiya menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathir, dan taqoddasa sama dengan tatohharo (suci, bersih). Allah SWT berfirman:
 ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9
Artinya: “Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". (Q.S Al-Baqarah[2] :30)
            Menurut pendapat lain Hadits Qudsi ialah hadits yang oleh nabi SAW disandarkan kepada Allah . dalam hal ini, maka nabi menjadi seorang perawi kalam Allah dengan lafal dari nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadits qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah.[2]  Pendapat lain mengatakan hadist qudsi adalah Hadits yang di nisbatkan kepada Dzat yang Maha Suci yaitu Allah Subhanahu wa Ta`ala. Secara istilah, Hadits Qudsi dipahami sebagai Hadits yang yang di sabdakan Rasulullah, berdasarkan firman Allah SWT. Dengan kata lain, matan Hadits tersebut adalah mengandung firman Allah SWT.
Bentuk-Bentuk Periwayatan
Ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi :
Pertama, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Seperti yang diriwayatkannya dari Allah ‘azza wa jalla”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abu Dzar radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasannya Allah berfirman : “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian. Maka janganlah kamu saling menganiaya di antara kalian”.
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah berfirman….”.
Contohnya : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah ta’ala berfirman : Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersama-Nya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku mengingatnya”.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
  • Al-Qur’an itu lafadh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
  • Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.
  • Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadits Nabawi disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diceritakan oleh beliau, sedangkan hadits qudsi disandarkan kepada Allah kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah. Oleh karena itu diikat dengan sebutan Hadits Qudsi. Ada yang berpendapat bahwa dinamakan Hadits Qudsi karena penisbatannya kepada Allah Yang Maha Suci. Sementara Hadits Nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
B.     Hadits Marfu’
Apabila para muhadditsin mengatakan bahwa ini hadits marfu,maka maksudnya adalah  hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW baik bersambung sanadnya at muttasil, ataupun tidak muttasil yakni ada keterputusan pada sanadnya. Yang apabila dinamai dalam ilmu musthalah sebagai hadits munqoti’ jika terputus salah satu sanadnya namun tidak beriringan dan disebut mu’dal apabila terputus dua sanadnya secara beriringan.
Para ahli hadits membagi hadits marfu ini kepada dua bagian yaitu:
1.      Marfu’ sharih (marfu’ haqiqy), yakni yang tegas disandarkan kepada Nabi. Dan marfu ini pula dibagi lagi kedalam tiga bagian yaitu:

a.       Marfu’ qauly yakni hadits marfu yang berasal dari perkataan Nabi SAW seperti perkataan para sahabat: “ saya mendengar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:....”
b.      Marfu’ fi’ly yakni hadits marfu’ yang berasal dari tingkah laku Nabi seperti perkataan sahabat: “ saya melihat bahwa sanya Rasulullah berbuat begini”.
c.       Marfu’ taqriry seperti seorang sahaby atau yang lainnya berkata: “ ada seseorang berbuat begini, dihadapan Rasul” dengan menerangkan bahwa Nabi tidak membantah perbuatan ini.
2.      Marfu’ ghoiru sharih (marfu hukmy), ialah segala yang dipandang hadits marfu’ padahal tidak disandarkan secara tegas kepada Nabi. Marfu’ ghairu sharih juga dibagi menjadi tiga yaitu:
a.       Perkataan seorang sahabat yang menerangkan bahwa seorang sahabat pernah berbuat sesuatu di masa Rasul.
b.      Perkataan seorang sahabat yang bersifat menetapkan suatu pahala atau suatu siksa.
Perkataan seorang sahabat “ bahwa yang demikian ini menurut sunnah”. Untuk jenis yang ketiga ini diperselisihkan ulama karena perkataan menurut sunnah mungkin dikehendaki menurut sunnah Nabi SAW, mungkin sunnah Abu Bakar, mungkin pula sunnah khalifah yang lain. Katerangan:
1.      Qauli Tasrihan : ucapan yang jelas atau terang-terangan menunjukan kepada Marfu.
2.      Qauli Hukman: ucapan tidak terang-terangan menunjukan kepada Marfu tetapi mengandung hukum Marfu.
3.      Fi`li Tasrihan: perbuatan yang jelas atau terang-terangan menunjukan kepada Marfu.
4.      Fi`li Hukman: perbuatan tidak terang-terangan menunjukan kepada Marfu tetapi mengandung hukum Marfu.
5.      Taqriri Tasrihan: ketetapan yang jelas atau terang-terangan menunjukan kepada Marfu.
6.      Taqriri Hukman: ketetepan tidak terang-terangan menunjukan kepada Marfu tetapi mengandung hukum Marfu.
Contoh Hadits Marfu Qauli Tasrihan:
 عن جابرقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: حسن الملكة يمن سوء الخلق سؤم (رواه ابن عسكر)
Artinya: dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).
Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu Qauli Tasrihan karena dengan terang-terangan
Contoh Hadits Marfu Qauli Hukman:

عن عمر قال رسول الله قال: الدعاء موقوف بين السماء والارض لا يصعد شيء حتي يصلي على النبى (رواه التريذى)
Artinya: dari umar ia berkata: “do`a itu terhenti antara langit dan bumi, tidak bias naik sedikit pun daripadanya sebelum dishalawatkan atas Nabi” (HR. Turmudzi).
Dikatakan Hadits Qauli Hukman karena tidak terang-terangan menyebutkan “قال رسول ا لله” tetapi mengandung hukum atau pengertian bahwa Umar menerima Hadits tersebut dari Rasulullah SAW.
Contoh Hadits Marfu Fi`Li Tasrihan:
عن انس اعتق رسول الله سلى الله عليه وسلم صفية وجعل عتقها مهرها (رواه النساءى)
Artinya: dari Anas: Rasulullah SAW telah memerdekakan shafiyah dan beliau jadikan memerdekakanya itu sebagai mahar.
Dengan tegas Hadits ini menerangkan tentang perbuatan Nabi yakni memerdekakan shafiyah.
Contoh Hadits Marfu Fi`Li Hukman:
ان علي ابنابي طالب صلى في الكسوف عشر ركعات فى اربع سجدات (المحلى)
Artinya: bahwa Ali Bin Abi Thalib pernah shalat kusuf 10 ruku` dengan 4 sujud.
Hadits diatas menerangkan tentang Ali yang shalat kusuf dengan 10 ruku` dengan 4 sujud. Ali tidak akan melakukan ini kecuali melihat atau mendapi Rasulullah melakukannya juga. Maka Hadits ini dianggap Marfu fi`li hukman, karena dzahirnya bukan Nabi yang mengerjakan.
Contoh Hadits Marfu taqriri tasrihan:
عن ابن عباس قال كنا نصلى ركعتين بعد غروب الشمس وان النبي يرانا فلم يا مرون بينهنا (رواه مسلم)
Artinya: dari Ibnu Abbas ia berkata: kami pernah shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari, sedang Nabi melihat kami, tetapi beliau tidak memerintah kami dan tidak melarang kami. (HR. Muslim).
Hadits diatas dianggap Marfu Taqriri Tasrihan karena secara terang-terangan Nabi malihat, namun tidak menyuruh ataupun melarang dengan kata lain Nabi membenarkan.
Contoh Hadits Marfu taqriri hukman:
عن انس ابنن مالك قال ان ابواب النبي ص م: كانت تقرع بالاظافر (رواه البخاري)
Artinya: dari Anas Bin Malik: sesungguhnya pintu-pintu (rumah) Nabi SAW diketuk dengan jari-jari (HR. Bukhari). Hadits diatas dinyatakan sebagai Hadits Marfu taqriri hukman karena perbuatan sahabat yang mengetuk rumah Rasulullah, dan Rasulullah tidak melarang maupun menyuruh, dengan kata lain membenarkan perbuatan para sahabat
·         Dalam penyampaiannya ada beberapa kalimat yang bisa menjadi tanda dari Hadits Marfu diantaranya:
1. Jika yang berbicara sahabat:
a. Kami telah diperintah (امرنا ).
b. Kami telah dilarang (نهيناعن).
c. Telah diwajibkan atas kami (اوجب علينا).
d. Telah diharamkan atas kami (حرم علينا).
e. Telah diberi kelonggaran kepada kami (رخص لنا).
f. Telah lalu dari sunnah (مضت السنة).
g. Menurut sunnah ((من السنة
h. Kami berbuat demikian di zaman Nabi (كنا نفعل كذا في عهدالنبي).
i. Kami berbuat demikian padahal Rasulullah masih hidup
 (كنا نفعل كذا وكان النبى ص م حى).
·         Jika yang meriwayatkanya tabi`in:
a. Ia merafa`kanya kepada Nabi SAW (يرفعه).
b. Ia menyandarkanya kepada Nabi SAW (ينميه).
c. Ia meriwayatkanya dari Nabi SAW (يرويه).
d. Ia menyampaikanya kepada Nabi SAW (يبلغ به).
e. Dengan meriwayatkan sampai Nabi SAW (رواية).
·         Jika di akhir sanad ada sebutan (مرفوعا) artinya: keadaanya diMarfu`kan.
·         Jika sahabat menafsirkan Al Qur`an:

a.       Asbabun nuzul
Contoh:
عن البراءقال كانو اذا احرموا في الجاهلية اتوا البيت من ظهره فانزل الله : وليس البر بان تاتوا البيوت من ظهورها ولكن البر من اتقى واتوا البيوت من ابواها (رواه البخارى)
Artinya: dari Bara` ia berkata: adalah orang-orang apabila mengarjakan ibadah haji di zaman jahiliyah, mereka keluar masuk rumah dari sebelah belakangnya. Lalu Allah turunkan ayat: “bukanlah kebajikan itu karena kamu keluar masuk rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu, ialah orang yang berbakti. Oleh karena itu, keluar dan masuklah rumah-rumah dari pintu-pintunya”. (HR. Bukhari).
Dari contoh Hadits diatas bias kita tarik kesimpulan bahwa sahabat menceritakan asbabun nuzul dari surat Al Baqarah ayat 189. Hadits ini disebut Marfu karena seolah Nabi lah yang bersabda demikian atau Nabi membenarkan perkataan sahabatnya.
b.      Keterangan dari sebuah ayat atau kalimat dalam Al Qur`an
Contoh:
عن عبدالله في هذه الاية الذين يدعون يبتغون الي ربهم الوسيلة (رواه البخارى)
Artinya: dari Abdullah Bin Mas`ud tentang ayat ini yaitu: “yang orang-orang menyerukan (sebagai tuhan) mereka, mengharapkan kedekatan kepada tuhan mereka” ia berkata “adalah satu golongan dari jin disembah oleh manusia, lalu jin-jin itu masuk islam”. (HR. Bukhari).
Abdullah bin mas`ud adalah sahabat yang menafsirkan ayat 5 surat Al Ishra bukan berdasarkan ijtihad dan pikiran. Tetapi berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW.
Catatan:
Hadits tentang tafsir sahabat dengan jalan ijtihad dan pikiran.

عن ابن عباس فى قوله والعاديات ضبحا.قال الخيل (رواه ابن جرير)
Artinya: dari ibnu abbas, tentang firman Allah: “wal`adiati dlabhan” ia berkata: (maksudnya) kuda”. (R. ibnu jarir 30:150).
Ibnu Abbas adalah seorang sahabat yang memaknakan “wal`adiyati dabhan” sebagi “kuda” sedang sahabat lain ada yang memaknakan “unta”. Macam-macam pendapat ini semua muncul dari ijtihad masing-masing sahabat. Maka hal ini dimasukkan kepada mategori Hadits Mauquf yang akan dibahas kemudian.
C.    Hadits Mauquf
Apabila para muhadditsin mengatakan bahwa ini adalah hadits mauquf, maka maksudnya adalah hadits (khabar) yang dituturkan oleh seorang shahaby, baik ucapan ataupun perkataan yang tidak diterangkan oleh Nabi.
Jika hadits tersebut disandarkan kepada seorang sahabat atau orang yang bukan sahabat, maka hendaknya ditegaskan yakni harus dikatakan siapa yang mengatakannya. Umpamanya hadits ini mauquf kepada Mujahid.
Mengenai hal seperti ini, para ulama berbeda pendapat tentang berhujjah dengan hadits mauquf. Menurut Syafi’i dalam kitabnya al-jadid, ia tidak dapat dijadikan hujjah. Kalau dipandang menjadi hujjah, maka hadits mauquf didahulukan atas qiyas dan lazim kita amalkan. Namun apabila para sahabat telah berselisih tentangnya, maka kia tidak boleh taqlid saja kepada salah seorangnya sebelum kita mencari dalil yang mengkuatkan salah satunya.
1.      Ucapan:
عن عبدالله بن مسعود قال لا يقلدن احدكم دينه رجلا فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم)
Artinya: dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang itu kufur, ia pun ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.
2.      Perbuatan:
عن عبدالله بن عبيد ابن عمير قال خير عمر غلا ما بين ابيه وامهفاختار امه فانطلقت به (المحلى)
Artinya: “dari Abdillah Bin Ubaid Bin Umair ia berkata: umar menyuruh kepada seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya. Maka anak itu memilih ibunya , lalu ia membawa ibunya. (Al Muhalla 10:328).
Umar adalah sahabat Nabi SAW, riwayat diatas menunjukan kepada perbuatan Umar untuk memilih antara ibu dan ayahnya.
3.      Taqrir:
عن الزهيرى ان عاتكة بنت زيدبن عمر بن نقيل كانت تحت عمر بن خطاب وكانت تشهد الصلا ة في  المسجد فكان عمر يقول لها والله انك لتعلمين  ما احب هذا فقالت : والله لاانتهي حتي تنهان فقال عمر فانى لا انهاك (المحلى)
Artinya: dari Zuhri, bahwa Atikah Binti Zaid Bin Amr Bin Nufail jadi hamba Umar Bin Al khattab adalah Atikah pernah turut shalat dalam mesjid. Maka umar berkata kepadanya: demi Allah engkau sudah tahu, bahwa aku tidak suk perbuatan ini. Atikah berkata: demi Allah aku tidak mau berhenti sebelum engkau melarang aku. Akhirnya Umar berkata: aku tidak mau melarang dikau. (Al Muhalla 4:202).
Umar adalah sahabat Nabi SAW. Dalam riwayat tersebut diunjukan bahwa ia membenarkan perbutan atikah yaitu shalat di mesjid.
Keterangan :
1. Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dlaif.
2. Hadits Mauquf tidak menjadi hujjah. Terutama jika bersangkutan dengan ibadah.
3. Dalam Hadits Mauquf dikenal istilah “Mauquf pada lafadz, tetapi Marfu pada hukum” artinya. Hadits Mauquf ini lafadznya berasal dari sahabat sedangkan hukumnya dari Rasulullah SAW.
D.    Hadits Maqtu’
Apabila para muhadditsin mengatakan bahwa hadits ini hadits maqtu’maka maksudnya adalah hadits yang disandarkan kepada tabi’iy baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan baik muttashil maupun munqoti’.
Para ulama berpendapat bahwa hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah. Tetapi apabila pendapat itu berkembang dalam masyarakat dan tidak diperoleh bantahan dari seseorang, maka ada ulama yang menyamakannya dengan perkataan sahabat yang berkembang dalam masyarakat yang tidak didapati bantahan dari seseorang yakni dipandang sebagai suatu ijma’.[3]
1.      Ucapan:
عن عبدالله بن سعيد بن ابي هند قال : قلت لسعيد بنالمسيب : ان فلانا اعطس والامام يخطب فشمته فلان قال فلا مرة يعودن (الاثر)
Artinya: dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya kepada Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib “perintahlah kepadanya supaya jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33).
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.

2.      Perbuatan:
عن قتادةقال كان سعيد بن المسيب يصلى العصر ركعتين (المحلي)
Artinya: dari Qatadah, ia berkata: adalah Sa`Id Bin Musaiyib pernah shalat dua rakaat sesudah ashar. (Al Muhalla 3:6).
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu berupa cerita tentang perbuatan-nya. Tidak mengandung hukum.
3.      Taqrir:
عن الحاكم بن عتيبة قال كان مؤمنا في مسجدنا هذا عبد فكان شريح يصلي فيه  (المحلي)
Artinya: dari hakam bin utaibah, ia berkata: adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga shalat disitu). (Al Muhalla 4:212).
Syuraih ialah seorang tabi`in. riwayat Hadits ini menunjukan bahwa syuraih membenarkan seorang hamba jadi imam.
Perbedaan umum antara Al Qur`anul Karim, Hadits Nabi, dan Hadits Qudsi diantaranya;
1. Al Qur`anul Karim mempunyai lafadz dan makna dari Allah SWT dan diturunkan secara berkala.
2. Sedangkan Hadits Nabi memiliki lafadz yang bersumber dari Nabi SAW tetapi maknanya dari Allah SWT, dan diturunkan tidak secara berkala serta dinitsbatkan kepada Rasulullah SAW.
3. Serta Hadits Qudsi, lafadz Hadits berasal dari Nabi Muhammad tetapi maknanya dari Allah SWT, tidak berkala, dinitsbatkan kepada Allah SWT.
       Perbedaan dalam bentuk penyampaianya adalah:
1. Al Qur`an selalu memakai kata"قال الله تعلى"
2. Hadits Nabawi memakai kalimat" قال رسول الله
3. Hadits Qudsi dengan "قال رسولا الله فيما يروي من ربه
Hadits Qudsi juga bisa disebut sebagai Hadits Ilahi, atau Hadits Rabbani. Jumlah total Hadits Qudsi menurut kitab Al Ittihafatus Sunniyah berjumlah 833 buah, termasuk yang shahih, hasan dan dlaif.
Contoh Hadits Qudsi yang sahih:
عن رسول الله ص م قال الله عز وجل افق انفق عليك (متفق عليه)
Artinya: Dari Rasulullah SAW: telah berfirman Allah Azza wa Jalla. “berdermawanlah kalian, niscaya aku akan membalas derma atasmu” (Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Hadits Qudsi ialah Hadits yang lafadz matan-nya dari Nabi Muhammad SAW dan maknanya dari Allah SWT. Hadits Qudsi tidsak sama dengan Al Qur`an karena Al Qur`an lafadz dan matan-nya dari Allah SWT.

 





Daftar Pustaka

Drs. Fathurrahman. “ Ikhtisar Musthalah Hadits"
Hasbi as-Shiddieqy,Prof. Dr. Teungku Muhammad.2009. “Sejarah Dan Pengantar ilmu Hadits” Semarang: Pustaka Rizki putra,
Hasbi as-Shiddieqy,Prof. Dr. Teungku Muhammad. “Pokok-pokokIlmu Dirayah Hadits”
Khalil al-Qattan, Manna.2009. ter:Drs Mudzakir AS “Studi ilmu-ilmu Qur’an”, Jakarta: Letera Antar Nusa.
Soetari Ad, M.Si ,Prof. Dr. H. Endang.2005. “Ilmu Hadits kajian riwayat dan dirayah”, Bandung: Mimbar Pustaka,


[1] Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si “Ilmu Hadits kajian riwayat dan dirayah”, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005 hlm.125
[2]  Manna Khalil al-Qattan ter:Drs Mudzakir AS “Studi ilmu-ilmu Qur’an”, Jakarta: Letera Antar Nusa, 2009 hlm.24  
[3]  Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy “Sejarah Dan Pengantar ilmu Hadits” Semarang: Pustaka Rizki putra, 2009 hlm.149-151

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS